Daftar Isi
Bagikan

Penetapan status hutan adat untuk masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih tak berpengaruh pada perbaikan kesejahteraan. Perlu ada peningkatan keterampilan mengolah hasil kebun.

PEMUKIMAN masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih di Desa Sindanglaya, Kabupaten Lebak, Banten, lengang pada Ahad, 17 Agustus 2024. Pagi itu nyaris tak ada aktivitas warga untuk merayakan kemerdekaan. Perayaan proklamasi baru digelar bakda zuhur.
Wawat Suniawati, 33 tahun, cuma menongkrong di depan teras rumah. Dia bercerita, warga Kasepuhan Pasir Eurih bercocok tanam di wilayah hutan adat pada hari-hari biasa. Yang mereka tanam antara lain petai, sayuran, dan padi. “Laki-laki dan perempuan ikut berkebun semua,” ujarnya.

Warga Kasepuhan Pasir Eurih bermukim di Desa Sindanglaya yang luasnya lebih dari 1.000 hektare. Pada 2015, pemerintah daerah memberikan pengakuan kepada warga Kasepuhan Pasir Eurih sebagai komunitas adat. Empat tahun kemudian atau pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan lahan seluas 580 hektare sebagai kawasan hutan adat.

Mereka kemudian membagi kawasan hutan adat itu menjadi dua: hutan konservasi dan garapan. Sebanyak 500 warga Kasepuhan Pasir Eurih menggarap lahan seluas 9 hektare.

Kepala Adat Kasepuhan Pasir Eurih, Abah Aden, bercerita, warga mengelola hutan adat sejak 1940—lima tahun sebelum proklamasi kemerdekaan. Namun, setelah Indonesia merdeka, hutan yang semula dikelola komunitas adat menjadi bagian dari hutan lindung di wilayah Gunung Halimun—kini di bawah pengawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Baca Selengkapnya:

https://interaktif.tempo.co/proyek/hutan-adat-datang-kemiskinan-terbilang/

 

 

Leave A Comment

Tulisan Terkait