Daftar Isi
Bagikan

Muhammad Sapar bersama Aroti, istrinya, mengumpulkan satu per satu biji kepayang atau kluwek (Pangium edule)  yang jatuh di pinggir Sungai Seluro. Kiding, alat pengumpul berbentuk tabung terbuat dari bambu separuh terisi.

Pohon kepayang berbuah satu kali setahun. Warga mengenal musim panen raya dan selingan. Biasanya, kepayang mulai berbuah November hingga Februari, dan musim panen raya pada Januari.

Sapar membawa sekeranjang buah kepayang, sekitar 35 kilogram. Buah ini untuk bikin minyak. Per kilogram buah kepayang kering bisa hasilkan 0,35 gram minyak.

Sapar, adalah Ketua Pengelola Hutan Adat Talun Sakti, Desa Raden Anom, Kecamatan Batang Asai, Sarolangun, Jambi. Dia bilang, pohon kepayang diatur secara adat dan proses pengambilan buah pun tidak bisa sembarangan.

“Hanya buah kepayang yang jatuh boleh diambil, tidak boleh dijuluk dengan kayu atau bambu. Didenda adat kalau dijuluk,” katanya.

Pepohonan di Hutan Adat Talun Sakti, tak bisa sembarangan diambil. Kepayang tak boleh dipanjat, petai tak boleh diberi tanda atau dilukai, maupun pohon bidara tak boleh ditebang.

“Itu hukumnya kalau kami disiko beras 20 kilo gram, serta lemak manisnya dan emas satu mayam.” (Hukumnya denda beras 20 kilogram, serta lemak manisnya dan emas 3, 33 gram).

Baca selengkapnya: https://www.mongabay.co.id/2022/02/03/kepayang-peredam-tambang-emas-ilegal-di-desa-raden-anom/

Tulisan Terkait